http://s3images.coroflot.com/user_files/individual_files/original_273609_FYcx3RNiyRSTu5MXdSsP8t4cL.jpghttp://www.bustler.net/images/news2/islington_housing_design_competition_1.jpghttp://www.glassonweb.com/UserFiles/Isover(1).jpg

slide 1

Desain 1

slide 2

Desain 2

slide 3

Desain 3

slide 4

Desain 4

slide 5

Desain 5.

Kamis, 26 Maret 2015

Jatuh ditempat makan kuda


Sebagai anak laki-laki jadul pasti senang main layang-layang atau layangan. Bahkan layangan tidak saja dimainkan oleh anak-anak tapi juga oleh orang tua. Kalau lagi musim main layangan tiap hari mulai siang sampai hampir maghrib banyak sekali orang mengadu layangan. Nah cerita ini terjadi saat aku masih sekolah TK. Hari itu hari Minggu jadi tidak kesekolah. Masih pagi sekitar jam 8.00 aku sudah mengambil layangan dan coba menaikkan layangan. Pagi itu udara masih tenang belum ada angin bertiup. Tapi namanya anak kecil tidak mikir ada angin apa tidak. Yang penting main layangan. Disuruh makanpun bilang nanti saja.

Waktu itu aku ikut pamannya ibu saya, rumahnya merangkap sebagai warung kelontong. Rumahnya dipinggir jalan dipertigaan jalan. Kendaraan yang dominan saat itu adalah delman. Ditempatku delman disebut dokar. Di jalan sekitar warung itu merupakan tempat dokar mangkal / parkir menunggu penumpang. Biasanya jika sudah “narik” saat mangkal kuda diberi minum dan makan. Makanan kuda adalah rumput yang sudah dipotong kecil-kecil (dicacah) dicampur dedak dan diberi air. Makanan kuda tersebut ditaruh didalam ember (didaerahku disebut komboran)

Aku main didepan rumah dan sekitarnya. Karena belum lihai dan tidak ada angin maka layangan pun tidak naik-naik. Namun begitu aku terus saja mencoba. Kalau kurang angin, main layangan biasanya menaikkannya sambil mundur-mundur. Demikian juga aku terus mencoba dengan manarik-narik benang layangan dan sambil mundur.
Kalau sudah begitu tidak lagi memperhatikan sekitar, yang dilihat adalah layangan (yang nggak naik-naik). Saat mundur terus itu tiba-tiba .... gubrak ....aku tersandung benda yang ada dibelakangku. Benda itu tak lain ember tempat makanan kuda. Akupun jatuh terduduk di ember tempat makan kuda alias komboran itu. Sakitnya tidak seberapa tapi saat aku terduduk diember itu kepala kuda berada diatas kepalaku dengan giginya yang gede-gede. Aku takut kalau digigit, maka aku menangis keras-keras. Kemudian ditolong oleh pak Kusir dan dibawa masuk kerumah. Celana belepotan dedak dan rumput. Untungnya (orang Jawa selalu dapat untung) kuda tadi tidak kaget. Kalau kaget dan terus lari bisa-bisa aku tertabrak / terlindas dokarnya. Sejak itu aku tidak boleh lagi main layangan dijalanan.

Imamnya hilang


Ini adalah cerita dari temanku yang dulu ketika masih kecil tinggal di Banyuwangi. Di kampung tempat tinggalnya dulu itu masih banyak tanaman-tanaman besar sehingga kalau malam gelap sekali terutama kalau tidak ada bulan. Apalagi waktu itu listrik belum masuk desa. Temanku biasa sholat di langgar (surau, mushola) terutama waktu subuh dan maghrib. Menurut temanku langgar itu sudah lama berdiri, sebelum dia lahir sudah ada. Bangunanya sangat sederhana dindingnya dari anyaman bambu (gedek). Disana sini dindingnya sudah pada berlobang. Bahkan didepan tempat imam dinding bawahnya sudang bolong cukup besar karena sering kena air hujan dan umurnja yang sudah puluhan tahun. Alat penerangannya berupa sentir. Waktu itu sentir biasanya dibuat dari botol (pendek) umumnya bekas tempat tinta diisi minyak tanah dan diberi sumbu dari potongan kain. Tentang keadaan seperti itu aku dapat membayangkan karena keadaan kampungku juga kurang lebih seperti itu waktu aku masih sekolah SR.

Suatu saat menjelang subuh dia berangkat ke langgar. Sebenarnya dia males banget berangkat sebab semalam hujan turun sehingga hawanya dingin sekali. Diluar bintangpun tidak terlihat karena mendung masih meyelimuti pagi itu sehingga keadaan masih gelap. Angin bertiup agak kencang menambah dingin. Sampai di langgar jemaah pun tidak banyak seperti biasanya.

Tidak lama menunggu sholatpun dimulai. Angin bertiup makin keras. Karena jendela langgar dibuka maka anginpun masuk kedalam. Nyala sentir bergoyang goyang tertiup angin. Saat sujud terakhir tiba-tiba lampu sentir mati, tertiup angin yang semakin kencang. Gelap sekali sampai orang sholat di baris depannya saja tidak terlihat. Setelah membaca tahiyat akhir beberapa lama tidak terdengar imam mengucapkan “asalamu'alaikum”. Ditunggu-tunggu masih belum juga terdengar “assalamu'alaikum” juga. Akhirnya orang yang sholat persis dibelakang imam menggapai tangannya kedepan, ternyata sang imam sudah tidak ada ditempat. Kemudian dia berkata agak keras :
“Wah imamnya sudah nggak ada !!!”.
Yang lain ada yang ketawa, ada yang mengomel suasana menjadi riuh ditengah kegelapan. Seorang lalu menyalakan sentir, dan minta sholat diulang lagi dengan imam pengganti.

Rupanya begitu sentir padam maka pak imam yang orangnya suka bercanda timbul ide untuk iseng. Dia baca “asalamu'alaikum” pelan sekali hanya terdengar untuk dirinya saja. Yang lain tidak mendengar karena suara pohon-pohon yang terkena angin. Begitu selesai mengucap “assalamu'alaikum” dengan perlahan-lahan dia keluar melalui lubang (mbrobos) dinding yang ada didepan tempat imam. Selesai sholat “ulangan” para jamaahpun pulang kerumah masing-masing. Beberapa diantaranya pulangnya lewat depan rumah pak imam. Ketika sampai depan rumahnya ternyata dia sedang duduk diteras sambil makan ketan dan senyum-senyum.
“Assalamu'alaikum pak” ucap beberapa orang.
“Wa alaikumsalam “ jawabya sambil terus senyum penuh dengan kepuasan dan mengunyah ketan. Dasar tukang iseng.
(tsubiyoto)